Mengenal Kebudayaan Jepara
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Sebagai tanda bukti dan setia murid-murid Ki Demang Barata yang sudah memimpin pedukuhan, masing-masing mengantarkan makanan kecil kerumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakkan dalam dua buah ancak dan diatas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul dengan diatur sedemikian rupa.
Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul Tulakan. Jembul merupakan perlambangan dari ungkapan yang diucapkan oleh Ratu Kalinyamat waktu menjalani pertapaan yaitu Ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getehe lan karmas keset jembule Aryo Panangsang yang dapat berarti tidak akan menyudahi tapa kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut Aryo Panangsang.
Dalam pelaksanaan Sedekah Bumi Tulakan atau dikenal juga dengan Upacara Jembul Tulakan ini, disuguhkan dua macam Jembul. Jembul yang besar di depan atau sering disbut Jembul Lanang, sedangkan jembul kecil berada di belakang disebut dengan jembul wadon. Khusus Jembul Lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis sedangjan Jembul Wadon tidak. Jembul Lanang di dalamnya terdapat bermacam-macam makanan kecil, seperti jadah (gemblong), tape ketan. Apem dan sebagainya, sedangkan Jembul Wadon berisi lauk-pauknya.
Jumlah jembul disesuaika dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepal dukuh atau dalam istilah sekarang adlah Kamituwo. Antara lain,pertama, jembul Krajan yaitu jembul dari penduduk dukuh Krajan,tempat kediman Ki demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini memounyai cirri khas berupa golek yang mengganbarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat.
Kedua, Jembul Ngemplak merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas perjuanganya membuka perdukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo seorang Nayoko Ratu Kalinyamat.
Ketiga, jembul Winong adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari kabupaten Jepara sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder.
Keempat, Jembul Drojo merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaanya maka dibuatlah golek yang menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat.
Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu-persatu dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukan tarian penghormatan dengan tayup.
Salah satu tradisi masyarakat Jepara yang erat kaitannya dengan Ratu Kalinyamat adalah “Pesta Baratan”. Kata “baratan” berasal dari sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan.
Setelah makan nasi puli, masyarakat di desa Kriyan dan beberapa desa di sekitarnya (Margoyoso, Purwogondo, dan Robayan) turun dari masjid / mushalla untuk melakukan arak-arakan. Ada aksi theatrikal yang dilaksanakan seniman setempat, selebihnya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dewasa maupun anak-anak. Ribuan orang dengan membawa lampion bergerak dari halaman masjid Al Makmur Desa Kriyan dengan mengarak simbol Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin menuju pusat Kecamatan. Mereka meneriakkan yel-yel ritmis : tong tong ji’ tong jeder, pak kaji nabuh jeder, dan sebagian lainnya melantunkan shalawat Nabi.
Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.
Upacara tradisional “Obor-oboran” merupakan salah satu upacara tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Jepara, khususnya desa tegalsambi kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara yang tiada duanya di Jawa Tengah ini dan mungkin di seluruh Indonesia.
Upacara Perang Obor yang diadakan setiap tahun sekali, yang jatuh pada hari Senin Phing malam Selasa Pon di bulan Besar (Dzullijah) diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat desa tegal sambi terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut.
Pada saat sekarang upacara tradisional Perang Obor dipergunakan untuk sarana Sedekah Bumi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat, Hidayah serta taufikNya kepada warga Desa Tegal Sambi, dan event ini diadakan setiap tahun sekali.
Berbicara mengenai budaya, di Jepara memiliki beragam budaya yang mesti Anda tahu, apa saja budaya yang ada di Kota Ukir, mari kita simak satu persatu.
Jambul Tulakan
Dilaksanakan setahun sekali, setiap bulan Apit hari Senin Pahing, sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rizki yang dilimpahkan pada penduduk Kademangan Tulakan. Ki Demang Barata mengadakan upacara syukuran yang kemudian dikenal dengan sedekah bumi. Arti kata sedekah bumi adalah sedekah ( amal ) adri hasil bumi yang diwujudkan dengan berbagai macam makanan kecil.
Sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat dalam menuntut keadilan atas kematian suaminya Sunan Hadiri, yang dibunuh oleh Arya Panagsang. Sebelum sedekah bumi pada hari Senin Pahing, didahului manganan dipunden Nyai Ratu Kalinyamat, yaitu bekas pertapaan. Pada hari Jum’at Wage sesuai dengan riwayat yang menyebutkan bahwa kedatangan Ratu Kalinyamat untuk bertapa adalah Jum’at Wage
Dilaksanakan setahun sekali, setiap bulan Apit hari Senin Pahing, sebagai tanda rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas rizki yang dilimpahkan pada penduduk Kademangan Tulakan. Ki Demang Barata mengadakan upacara syukuran yang kemudian dikenal dengan sedekah bumi. Arti kata sedekah bumi adalah sedekah ( amal ) adri hasil bumi yang diwujudkan dengan berbagai macam makanan kecil.
Sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat dalam menuntut keadilan atas kematian suaminya Sunan Hadiri, yang dibunuh oleh Arya Panagsang. Sebelum sedekah bumi pada hari Senin Pahing, didahului manganan dipunden Nyai Ratu Kalinyamat, yaitu bekas pertapaan. Pada hari Jum’at Wage sesuai dengan riwayat yang menyebutkan bahwa kedatangan Ratu Kalinyamat untuk bertapa adalah Jum’at Wage
Foto by TIC Jepara |
Sebagai tanda bukti dan setia murid-murid Ki Demang Barata yang sudah memimpin pedukuhan, masing-masing mengantarkan makanan kecil kerumah Ki Demang. Makanan kecil tersebut diletakkan dalam dua buah ancak dan diatas makanan kecil ditanamkan belahan bambu yang diirat tipis-tipis. Iratan tipis bambu tersebut melambangkan rambut jembul dengan diatur sedemikian rupa.
Ancak dari rambut jembul dari iratan bambu tipis tersebut dinamakan Jembul Tulakan. Jembul merupakan perlambangan dari ungkapan yang diucapkan oleh Ratu Kalinyamat waktu menjalani pertapaan yaitu Ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getehe lan karmas keset jembule Aryo Panangsang yang dapat berarti tidak akan menyudahi tapa kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut Aryo Panangsang.
Jumlah jembul disesuaika dengan jumlah pedukuhan yang dipimpin oleh kepala-kepal dukuh atau dalam istilah sekarang adlah Kamituwo. Antara lain,pertama, jembul Krajan yaitu jembul dari penduduk dukuh Krajan,tempat kediman Ki demang sebagai pusat pemerintahan Kademangan. Jembul ini memounyai cirri khas berupa golek yang mengganbarkan seorang tokoh bernama Sayid Usman, seorang Nayoko Projo Ratu Kalinyamat.
Kedua, Jembul Ngemplak merupakan wujud dari penghargaan masyarakat untuk Ki Leboh atas perjuanganya membuka perdukuhan Ngemplak, mengingat Ki Leboh adalah kepala dukuh Kedondong yang wilayahnya termasuk Ngemplak. Sebagai identitas Ki Leboh dibuatlah golek dari tokoh yang bernama Mangun Joyo seorang Nayoko Ratu Kalinyamat.
Ketiga, jembul Winong adalah penghargaan terhadap Ki Buntari yang telah merintis sebagai kepala dukuh dan membangunnya dengan baik. Sebagai perlambang dari tokoh tersebut dibuat golek yang merupakan barisan prajurit yang gagah perkasa yang mengawal dan mengamankan keberangkatan Ratu Kalinyamat dari kabupaten Jepara sampai selama di pertapaan Siti Wangi-Sonder.
Keempat, Jembul Drojo merupakan penghargaan terhadap Ki Purwo atas segala jasanya membuka pedukuhan. Sebagai bentuk dari penghargaanya maka dibuatlah golek yang menggambarkan seorang tokoh yang bernama Mbah Leseh seorang tokoh Kalinyamat.
Prosesi dari penampilan jembul ini adalah satu-persatu dengan pertunjukan tarian tayub. Hal ini sebagai pengulangan kembali peristiwa pada waktu para nayoko menghadap Ratu Kalinyamat dan dipertunjukan tarian penghormatan dengan tayup.
Pesta Baratan
Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat maghrib, umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di masjid / musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar.
Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.
Perang Obor
Obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan atau bendelan 2 (dua) atau 3 (tiga) pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering (jawa : Klaras ).
Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk dimainkan/digunakan sebagai alat untuk saling menyerang ehingga sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–pijaran api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah “ Perang Obor “.
Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk dimainkan/digunakan sebagai alat untuk saling menyerang ehingga sering terjadi benturan–benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran–pijaran api yang besar, yang akhirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah “ Perang Obor “.
Upacara Perang Obor yang diadakan setiap tahun sekali, yang jatuh pada hari Senin Phing malam Selasa Pon di bulan Besar (Dzullijah) diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat desa tegal sambi terhadap peristiwa atau kejadian pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut.
Pada saat sekarang upacara tradisional Perang Obor dipergunakan untuk sarana Sedekah Bumi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat, Hidayah serta taufikNya kepada warga Desa Tegal Sambi, dan event ini diadakan setiap tahun sekali.
Tidak ada komentar